IAW Desak Redefinisi Hutan Demi Tata Ulang Perkebunan Sawit Nasional

Kakang Nan
May 02, 2025

IAW meminta Presiden Prabowo Subianto melakukan redefinisi kawasan hutan. Foto: UGM

KOSADATAIndonesian Audit Watch (IAW) mendorong Presiden Prabowo Subianto agar menjadikan redefinisi kawasan hutan sebagai prioritas awal dalam membenahi tata kelola perkebunan sawit nasional. Langkah ini dinilai krusial untuk mengakhiri kekacauan struktural yang telah berlangsung sejak era kolonial dan terus diwariskan hingga masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

 

“Definisi hutan kita selama ini sangat awut-awutan. Akibatnya, kebijakan kehutanan dan perkebunan berjalan tumpang tindih, penuh konflik, dan tidak berpihak pada kepentingan ekologis maupun masyarakat adat,” ujar Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW dalam keterangannya, Jum'at, 2 Mei 2025.

 

IAW menilai pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) oleh pemerintahan Prabowo sebagai momentum strategis untuk memperbaiki tata kelola sawit yang selama ini menyumbang deforestasi dalam skala masif. 

 

Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada Semester I Tahun 2022 ditemukan 3,1 juta hektar sawit berada di kawasan hutan tanpa pelepasan izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kerugian negara ditaksir mencapai triliunan rupiah dari potensi hilangnya PNBP, Dana Reboisasi, dan Provisi Sumber Daya Hutan.

 

Tak hanya soal ekonomi, persoalan ini menurut IAW juga menyangkut krisis hukum agraria. Dalam surat resmi IAW kepada Ketua Pengarah Satgas PKH pada 11 April 2025, IAW memaparkan bahwa kekacauan legalitas hutan berakar pada dualisme hukum sejak kolonial. Regulasi seperti Boschordonnantie 1927 hingga UU Cipta Kerja 2020 terus memperkuat dominasi negara atas kawasan hutan tanpa memperhatikan hak masyarakat adat dan prinsip keadilan ekologis.

 

“Konflik HGU, alih fungsi kawasan tanpa audit, dan lemahnya pengawasan hanya sebagian dari 30 masalah utama yang kami identifikasi,” kata Iskandar.

 

Lebih lanjut, IAW menawarkan skema penyelesaian struktural berbasis Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada lembaga negara seperti Perum Perhutani. Dalam skema ini, lahan sawit yang sudah telanjur berada dalam kawasan hutan tetap dalam kontrol negara, tetapi bisa diberikan Hak Guna Usaha (HGU) terbatas kepada korporasi berstandar keberlanjutan.

 

“Ini jalan tengah untuk legalisasi terbatas sekaligus pemulihan ekologis. Solusi teknokratik yang kami tawarkan bukan sekadar normatif, tapi berbasis sejarah, regulasi, dan data audit,” tambahnya.

 

IAW juga menyoroti potensi ekonomi baru dari skema perdagangan karbon. Dengan kapasitas serapan karbon kelapa sawit mencapai 64 ton CO₂ per hektar per tahun, potensi nilai karbon dari 3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan bisa menyumbang hingga Rp15 triliun per tahun melalui skema carbon credit saja.

 

Namun, Iskandar menekankan pentingnya pengawasan berbasis audit digital dan kolaboratif antara BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung. “Semua harus berbasis verifikasi lapangan dan transparansi data. Tidak boleh lagi ada penyimpangan seperti sertifikasi fiktif, manipulasi izin, atau lahan siluman,” tegasnya.

 

IAW juga mengusulkan pemberian insentif fiskal kepada perusahaan sawit yang patuh terhadap prinsip keberlanjutan. Insentif tersebut bisa berupa pengurangan pajak penghasilan, akses kredit lunak, hingga sistem bea ekspor berbasis jejak karbon.

 

“Negara harus seimbang antara pendekatan hukum dan insentif. Sawit bukan musuh, tapi instrumen strategis jika dikelola dengan benar,” tutup Iskandar.

 

Langkah Prabowo untuk menata ulang tata kelola sawit kini ditunggu banyak pihak. Jika berhasil, kebijakan ini bukan hanya akan menyelamatkan hutan Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi diplomasi iklim Indonesia di forum global.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0